Pada mulanya berdiri sebuah balee di daerah Batee Badan sekitar tahun 1845. Beberapa tahun kemudian setelah itu terjadi perpecahan di dalam masyarakat gampong tersebut, sehingga timbul niat dari orang-orang gampong atau para tokoh untuk membongkar balee tempat sembahyang atau tempat musyawarah untuk lebih besar lagi dari yang sudah ada. Setelah terjadi kegagalan tidak dibangun lagi pada tempat semula sehingga balee tersebut satu buah tiang dipindahkan (ditanam) ke gampong yang lain yaitu gampong Kupula, sehingga sampai saat ini disebut Meunasah Kupula yaitu Gampong Kupula Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Kemudian tiga buah tiang yang lain dipindahkan ke lokasi yang baru yaitu daerah lampoh tanjong yang disebut sekarang daerah Lampoh Panyang. Kemudian masyarakat pada saat itu membangun kembali secara bersama-sama balee tersebut untuk tempat ibadah atau tempat bermusyawarah para alim ulama untuk masyarakat gampong tersebut.

Beberapa lama kemudian kira-kira pada tahun ±1873 timbul niat dari seorang perempuan tua renta yaitu Pocut Wan, yang tinggal seorang diri dan tidak mempunyai anak atau tidak ada seorang pun ahli warisnya. Lalu diundanglah semua tokoh masyarakat untuk mewakafkan satu petak tanah kebun (lampoh) serta satu rumah Aceh bertiang kayu untuk sarana ibadah dan sebagai tempat bermusyawarah atau istilah tempat sekarang Meunasah Balee yang lokasinya ditempat meunasah sekarang itulah tanah wakaf yang disertai dengan satu petak tanah sawah yang luas nya 10 are bibit untuk kesejahteraan meunasah tersebut.

Kemudian pada saat itu juga masyarakat dan alim ulama membongkar kembali balee yang ada di Lampoh Panyang, lalu dipindahkan ketempat tanah wakaf tersebut kepinggir jalan arah menuju kegampong Pulo Lueng Teuga yang berdekatan dengan pohon besar yaitu Bak Lupe Raya atau pohon beringin yang umurnya ±600 tahun lebih, karena pohon tersebut melambangkan simbol perdamaian bagi para tengku atau alim ulama yang dapat membawa kesejukan sambil beristirahat pada saat-saat tokoh dan masyarakat didalam mengikuti sidang suatu perkara yang disidangkan oleh para ulama atau para tengku. Dibelakang meunasah balee tersebut terdapat kuburan Tengku Batee Timoh. yang beliau tersebut dinobatkan keramat. Meunasah Balee dilengkapi beberapa buah balee seperti balee apam, balee balang dan meunasah tuha. Menurut sejarah para ulama meunasah tuha ini sering dipakai sebagai tempat persidangan.

Pada tahun 1968 dibawah pimpinan keuchik Ubit (Hasan Mahmud) mengadakan rapat/musyawarah untuk membangun meunasah yang permanen karena sesuai dengan tuntutan zaman yang dilakukan dengan cara bergotong-royong oleh seluruh masyarakat baik kaum pria maupun wanita dengan modal pertama Rp. 300.000,-. Demi terlaksananya pembangunan meunasah yang dimaksud seluruh komponen masyarakat bergotong royong keumekoh dan bekerja keras menimbun jalan (tambak jalan) jalan Lueng Tahee tepatnya dijembatan patah asa menuju ke gampong Kembang Tanjong, karena jalan tersebut dihantam banjir. Dengan berkat kerja keras seluruh komponen masyarakat dapat terwujud sebuah meunasah yang permanen dengan model masjid yang memakai kubah atau puncak bulat berlambang bulan sabit di atasnya atau bulan bintang dengan ukuran 8×12 meter hasil karya Bash Don (Zulkifli Meuntroe) dan beliau satu-satunya putra Meunasah Balee Kecamatan Glumpang Tiga yang bertindak sebagai kepala tukang dan sekarang berdomisili di Meunasah Lancok Masjid, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya.

Didalam perkarangan atau komplek meunasah tersebut banyak kuburan-kuburan Teuku atau Pocut (Keluarga Hulu Balang). Dan diantara kuburan-kuburan Pocut tersebut ada 2 buah kuburan yang sangat meugah, diantaranya kuburan Pangmuda Lila dan kuburan Ampon Syeh Gam Glumpang Payong yang syahid dalam peperangan Belanda melawan rakyat Aceh sekitar tahun 1936 dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada satu kebanggaan lagi bagi masyakat Meunasah Balee yaitu adanya satu kuburan orang keramat yang bernama Pocut Di Sawang atau nama gelar Pocut Meugah (Pocut Habibah).